Kamis, 21 September 2017

Ingin Kamu

Edit Posted by with 2 comments
"Mengerikan". Ya, memang hanya itu yang bisa aku gumamkan. Melihat sederetan kartu undangan pernikahan yang berhasil mendarat ke rumahku. Besok si itu, besoknya lagi si itu, bahkan di hari yang sama pun si itu yang lain yang menikah. Rasanya hati ini seperti teriris dan begitu ngilu sekali.

Entahlah, kok bisa ya mereka menikah dengan pesta yang "cukup mewah" itu. Kalau mengingat berapa biaya yang harus dikeluarkan, ya ampun lagi-lagi aku ingin berteriak menjerit kenapa harus seperti ini cerita cinta di jaman sekarang.
Aku terhenti di titik ini, bingung menentukan langkah. Kemana? Kemana harus ku pijakkan? Bola mataku melirik kesana-kemari, melihat apa saja kemungkinan yang dapat aku jadikan acuan untuk bisa melangkah.

Terkadang aku merasa seperti hamba yang sombong kepada Tuhannya, kenapa? Bukankah Tuhan kita semua itu Maha Kaya, Maha Baik, Maha Bijaksana dan Maha Mengabulkan apa-apa yang hamba-Nya pinta?
Tapi ternyata bukan, bukan itu yang menjadi alasan mengapa aku tetap terdiam pada titik ini.
Jawabannya, "kamu". "Kamu" yang namanya selalu berseliweran di dalam kepalaku, rasanya sulit sekali untuk membuka hati dan membunuh semua angan-angan atau ingin-ingin yang kuciptakan sendiri.

Aku memang tak ingin lagi bermain dengan angan-angan yang tak menjadi sebuah jalan, seperti yang sudah-sudah. Jalan itu tertutup dan memaksaku untuk berbalik badan dan kembali. Kembali? Tidak, tapi memperbaiki arah langkah.
Kemarin-kemarin, aku mengakui kalau langkahku seringkali tergesa, hingga akhirnya terlalu banyak tempat yang kusinggahi tanpa tinggal. Aku hanya meninggalkan bercak-bercak luka pada seseorang dan kebanyakan mereka-mereka yang singgahlah yang mencabik-cabik setiap harap dan do'a baruku. Namun setelah dipikir-pikir, tidak seperti itu. Tuhan menyelamatkan aku untuk kesekian kalinya. Sederhananya, bukan mereka yang menjadi jodohku.

Lalu, siapa?

Ada nama kamu yang sudah terpatri dan tertanam begitu dalam di sini, di hati ini. Itulah alasan mengapa aku selalu sendiri begini, hatiku sudah terkunci mati dengan simpul yang tak mudah dimengerti, bahkan aku sendiri pun tak memahami bagaimana cara membuka simpul yang seperti itu.
Rasa-rasanya aku hanya ingin "kamu", boleh?
Sepertinya bisa, tapi waktu tunggu yang kau berikan kepadaku itu yang membuat aku setengah mati ingin melebur. Ah, kenapa pembuktian cinta harus sebegini rumitnya? Adakah sebenarnya jalan yang lebih mudah untukku melanjutkan perjalanan menuju perahu besar itu?

Tapi aku ingin, "kamu". Bagaimana ini?


Jumat, 15 September 2017

Persepsi Tentang OODP

Edit Posted by with 1 comment
بسم ا لله ا رحمن ا رحم..

Subhanallah.. Walhamdulillah.. Wa laa ilaha ilallah.. Allahu Akbar..

Ketika aku membaca sebuah postingan milik temanku di Facebook tentang event menulis dengan judul "OODP Batch4" yang kupikirkan disana hanyalah kekaguman dan ketertakjuban. "WOW" gitu kan. "Wah, aku harus ikutan nih." Begitulah yang kupikirkan saat itu. Dan pada akhirnya aku mencoba untuk ikut event tersebut. Bagus lah, jadi bisa mewadahi penulis-penulis lepas dan menjadikan fasilitator, dan juga melatih atau mengasah kemampuan para penulis-penulis atau mereka yang memang ingin menjadi penulis. Dan mereka yang senang menulis juga bisa menyalurkan semua ekspresi atau emosinya melalui OODP ini. "One Day One Post" itu bagus, keren, sangat bervisioner lah istilahnya. Jadi si event ini akan membuat penulis-penulis ini terarah dan terkonsep penulisannya. Dan harapannya sih barangkali bisa menjadi karya tulis yang dibuku-kan. Dan semoga OODP bisa konsisten dengan niatannya yang ingin menjadikan penulis-penulis menjadi penulis yang bermartabat dan bermanfaat.
In sya Allaah .. 

امين..

Rabu, 28 September 2016

Shaffa's Diary

Edit Posted by with No comments
Penulis? Menulis? Naskah? Tulisan? Inspirasi? Penerbit?

Sepertinya semua hal itu semakin sulit untuk dilakukan, apatah lagi untuk diwujudkan dalam bentuk nyata. Ingin menjadi penulis katanya? Ingin menerbitkan buku sendiri katanya? Dan masih banyak lagi impian lainnya yang hanya dibiarkan menjadi sebuah mimpi. Hanya mengejar angan kosong, yakinkah itu semua dapat terwujud? Jangan bermimpi!

Terkadang, ingin sekali rasanya menghukum diri yang banyak menunda-nunda, ingin sekali rasanya menghukum diri yang banyak melewati kesempatan-kesempatan emas hanya karena terlalu banyak berpikir. Memang berapa kali kesempatan emas itu datang? Sepertinya tidak ada, nyaris tak pernah. Dasar!

Oke, kita mulai mengasah otak kembali dan mencoba menemukan inspirasi disela-sela kebingungan ini. Ingin kembali menyuguhkan seuntai kisah kepada para pembaca, kali dapet anugerah.

Kita kasih judul "Sayap-sayap Patah".
Begini awal mulanya. Mm.. Mulai darimana ya? Cerita awalnya gimana ya? Gini deh..

Langkah kaki Kania terhenti di sudut gerbang sekolah yang hanya beberapa meter dari rumahnya, ia memandang gedung itu dengan mata yang berbinar penuh harap.
"Seandainya.. Seandainya.. Seandainya.."
Seandainya apa? Apa yang Kania inginkan sebenarnya? Entahlah, lanjutkan saja.

"Kania.." Teriak salah seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibu kandung Kania, memanggilnya sambil membawa baki berisi opak mentah. "Sedang apa kamu berdiri di situ? Ayo bantu ibu." Kania terkejut dan menoleh ke arah ibunya, ia pun melepaskan pandangannya dari gedung bertingkat itu dengan berat hati. "Bu, Kania ingin sekolah." matanya berubah mendung. Terlihat dari sorot bola mata ibunya, bahwa ibunya pun merasa sangat terpukul atas pernyataan anaknya itu. Tapi apa daya, ekonomi tak memungkinkan untuk mewujudkan keinginan putrinya itu. 
"Jual opak dulu, kali aja kamu nanti bisa sekolah, ya?" Ibunya mencoba menghibur.
"Kita sudah lama bu menjual opak, tapi keinginan Kania gak pernah terwujud. Uangnya selalu terpakai untuk menutupi kekurangan kita. Kania pengen kita maju bu, biarpun hanya dari jualan opak."
"Kania pengen melanjutkan sekolah bu." Lanjut Kania yang terlihat begitu bersemangat.
Ibunya hanya tersenyum mengangguk, semoga keinginan anaknya dapat terwujud.

Kania seharusnya sudah menginjak bangku SMA kelas 3, tapi karena tersendat biaya jadinya terpaksa untuk keluar sekolah. Tidak ada beasiswa untuk Kania saat itu, karena kalah pintar oleh teman-teman yang lainnya. Kania memang jarang belajar karena terlalu sibuk membantu ibunya jualan opak. Belajar pun alakadarnya. Intinya pada masanya itu, Kania memang sangat sulit untuk fokus dengan studinya. Karena sudah berbulan-bulan menunggak dan akhirnya bengkak, ibunya tak sanggup membayar dan terjadilah hal demikian.

Ah, tuh kan buntu. Mau gimana ya kelanjutannya. Berasa gak seru gini. Terlalu umum ceritanya. Ganti jangan? wkwkw...

Intinya sih yang mau aku ceritain tu gimana menyesalnya aku ketika harus memilih menyerah hanya karena nggak bisa menikmati hidup dengan santai dan optimis. Kalau waktu bisa diputer lagi mungkin aku bakalan minta ditaruh di angka 2013 dan merubah semuanya, aku pengen perbaiki semua kesalahan itu.

Lalu, Kania pun berusaha mencari kerja di pabrik-pabrik, Untuk masuk sekolah kejuruan mungkin nggak terlalu banyak membutuhkan biaya.
"Tapi.." Kania termenung sejenak. Ia tak tega melihat Ibunya banting tulang sendiri dengan pekerjaannya.

Sebentar, ayahnya kemana? Kenapa ceritanya gak dikasih peran ayah aja gitu biar idupnya nggak susah? wkwkw..
Oh, dikasih aja. Tapi ayahnya...

"Ah, kalau kayak gini suka keingetan bapak. Kalau bapak masih ada mungkin ibu nggak perlu susah payah gini." Keluh Kania.

Ya, ceritanya bapanya dah meninggal dunia karena gak sanggup bayar hutang. Titik. Dia kena serangan jantung. Begitu ceritanya.

Kania pun berlari menghampiri ibunya, "Bu, ibu berhenti saja jualan opak. Biar Kania yang gantikan ibu kerja,"
Ibunya berhenti menggoreng lalu menoleh ke arah putrinya, "Terus ibu di rumah ngapain?"
"Ya ibu diam saja, tunggu Kania pulang. Masak deh buat Kania"
"Memangnya kamu sudah melamar kerja kemana? Ada yang nerima?"
"Ya belum ada panggilan sih bu, tapi ibu mending gak usah kerja kaya gini deh biar Kania aja. Ya?"
"Ah, nanti ibu berasa kayak pengangguran. Ibu gak tenang jadi pengangguran."
"Aduh Ibu, susah banget ya dikasih taunya. Atau gini aja deh bu, jangan jualan opak. Ganti gitu jualan seblak. Hehehe.."
"Seblak?"
"Iya Bu, lagipula yang seneng opak kan jarang-jarang. Lagian ibu juga gak terlalu kudet kok, cuma bikin seblak ma ibu juga bisa kan? Iya kan?"
"Hmm, kenapa gak bilang dari dulu?"
"Ah, Ibu suka belaga jadi kaya orang susah aja."

Ini ceritanya kenapa jadi kayak gini ya? Hahaha... Bodo amat, lanjutkan!
Ya pokoknya mereka jualan seblak. Seblak Mpo Uni wwkwkwk...
Ya, meskipun cuma jualan seblak, tapi jangan salah. Jual seblak di Bandung ma marema ciga jualan baso. :D

Memang masih banyak lagi modal yang harus ditambahkan untuk perlengkapan jualan seblak saat itu, mereka masih harus bersabar menjual opak sampai semua perlengkapan kumplit dan mulai jualan seblak.

Tiga Bulan Kemudian

Ya katakanlah tiga bulan kemudian, biar cepet.

Semua modal sudah siap, Mpo Uni beralih profesi menjadi penjual seblak.

Ceritanya bersambung aja dulu deh ya, pusing. wkwkwk











Jumat, 11 April 2014

Tetesan Air Mata Terakhir

Edit Posted by with No comments


Terlihat wajahnya yang nampak kusut dan mulutnya terbata seperti ingin mengungkapkan sesuatu. Zahra yang melihat ayahnya yang begitu terlihat bersedih seolah tak kuasa untuk meneruskan niatannya untuk pergi melanjutkan pendidikannya di Universitas Kairo, Al-Azhar sana.
            “Abi, abi mau berkata apa kepada Zahra?” Tanya Zahra yang mendekat kepada ayahnya yang sedang duduk di kursi roda.
            Dengan berat hati untuk mengatakan itu semua, karena memang usianya yang sudah terbilang sangat tua. Dan ayah Zahra pun sedang mengalami struk ringan. Ayahnya pun berkata sesuatu kepada anak gadis bungsunya itu.
            “Se..ge..ralah.. me..ni..kah, nak!” Ucap ayahnya yang seketika tak kuasa untuk menahan sesak di dadanya. Zahra tak begitu memikirkan apa yang ayahnya katakan, serentak Zahra mengangkat ayahnya untuk berbaring di tempat tidurnya.
            “Umi.. Umi..” Teriak Zahra memanggil ibunya.
            “Ya Zahra.. Ada apa?” Sahut ibunya dari dapur.
            “Abi tiba-tiba sesak nafas Umi, kemarilah.”
            Ibunya pun terkaget dan segera berjalan cepat menghampiri Zahra dan melihat keadaan suaminya.
            “Mengapa seperti ini, Zahra?” Tanya ibunya kepada Zahra yang sedang menangis di samping kiri ayahnya.
            “Abi menginginkan Zahra untuk segera menikah, Umi.” Ucap Zahra yang tak kuasa membendung rasa sedih dalam hatinya.
            “Lalu, bagaimana denganmu nak? Apakah sudah mempunyai calon pendamping?” Tanya ibunya dengan tatapan mata yang begitu mendalam seolah memelas.
            Zahra tak sanggup melihat sorot mata ibundanya, Zahra hanya menunduk dan kemudian ia langsung pergi meninggalkan kamar ayahnya dan segera bergegas ke kamarnya untuk merenungkan perkataan ayahnya.
            Bagaimana mungkin aku bisa menyakiti perasaan seorang ayah, ibu. Mana mungkin. Tetapi aku juga tak bisa lari begitu saja dari kenyataan yang ada. Aku bahkan bingung, mengapa sampai saat ini aku.. apakah aku terlalu banyak dosa-dosa? Ah..
            Begitulah yang dipikirkan oleh Zahra. Ia hanya bisa melamun dan membayangkan, bagaimana jika dia tak bisa membahagiakan ayahnya. Bagaimana jika ayahnya pergi terlebih dahulu sebelum ia menikah. Sangat-sangat menyesakkan batinnya.
            Senja pun berganti menjadi malam, tak ubahnya. Sang ayah hanya bisa terbaring lemah tak berdaya di atas kasurnya. Sang ibu yang tiada hentinya berdzikir dan menangis di atas sajadahnya. Mengadu kepada yang memiliki naskah hidup ini. Sedang Zahra, hanya bisa termenung menopang dagu tak mengerti. Mencari celah untuk menemukan sebuah jawaban, apa yang harus ia lakukan. Sementara segudang prestasi dan impiannya telah hadir di depan mata. Kesempatan ia untuk kuliah di tanah Kairo itu adalah impiannya sedari dulu. Namun, bila kenyataannya seperti ini. Zahra bingung harus mengambil sikap yang seperti apa.
Keesokan Harinya
            “Assalamu’alaikum warahmatullah,” Ucap seorang pria dari balik pintu.
            “Wa’alaikumussalaam warahmatullah,” Jawab Zahra sambil membuka pintu
            “Eh, Kang Hardi. Sengaja mampir Kang?” Ucap Zahra yang terkejut ketika melihat bahwa tamu yang datang ke rumahnya kali ini adalah kakak ke-duanya.
            “Iya, Akang sengaja kesini. Apakabarnya Abi sama Umi?” Tanya Kang Hardi sambil masuk ke rumah dan duduk di karpet yang telah dihamparkan di lantai.
            “Abi masih begitu sajalah Kang, malah kemarin Abi sesak nafas. Umi Alhamdulillah sehat, oh ya. Kemana Teh Melsa?”
            “Abi sesak nafas kenapa? Ada masalah? Pasti karena kamu ya?”
            “Ah, akang. Gitu deh. Umi, ini ada Kang Hardi.” Teriak Zahra memanggilkan ibunya.
            “Tunggu Kang, Zahra ambilkan dulu minum.”
            Zahra pun mengambilkan minum dan suguhan lainnya di dapur, sementara itu Umi dan Abi Zahra pun keluar dari kamar menemui anak ke-duanya.
            “Assalamu’alaikum Umi, Abi. Sehat?” Ucap Kang Hardi sambil menundukkan kepalanya mencium tangan abi dan uminya.
            “Wa’alaikumussalaam, Alhamdulillah. Bagaimana denganmu sendiri nak? Bahagiakah di Jogja sana?” Ucap ibunya.
            “Hardi sehat Umi, Alhamdulillah.”
            Zahra pun kembali dari dapur dengan membawakan minum dan makanan ringan untuk disuguhkan kepada tamu.
            “Umi, Zahra bertanya tentang Teh Melsa belum Kang Hardi jawab. Kemana Kang?”
            “Oh iya, mengapa kamu datang kemari sendirian, Hardi?” tanya ibunya.
            “Melsa baik-baik saja, hanya saja dia tak ikut. Karena, di rumah sedang ada renovasi. Lagipula, Pandu sedang sakit sudah satu minggu.” Jawab Kang Hardi.
            “Innalillah, sakit apa Kang?” Tanya Zahra.
            “Demam, nafsu makannya menurun.” Jawabnya.
            “Gimana, sudah punya calon belum?” Lanjut Kang Hardi kepada Zahra.
            “Ah, Kang. Zahra galau kalau ditanya tentang pasangan.” Jawab Zahra.
            “Lho, kenapa?” Tanya Kang Hardi memasang wajah penasaran.
            “Ah, entahlah Kang.”
            “Sudah, tak perlu membahas pasangan Zahra. Nanti malah jadi pikiran buat Abi.” Ucap Ibunda mereka berdua.
            “Nah kan, kata Akang juga tadi apa. Kamu penyebabnya!” Ucap Kang Hardi sambil menyentil telinga Zahra.
            “Aduuh.. Kang, mana Zahra tahu bakal seperti begini kejadiannya. Lagian, bukannya Zahra tak mau mencari pendamping. Tapi, entahlah. Belum ada yang menyatakan perasaannya kepada Zahra.”
            “Kamu sendiri suka sama siapa Zahra?”
            “Zahra bingung menafsirkan apa itu cinta. Kebanyakan yang Zahra tahu, semua yang mencintai akhirnya tersakiti dan menyalahkan cinta itu sendiri. Zahra takut kalau Zahra pun akan diperlakukan yang sama oleh cinta, sama seperti yang dilakukan cinta kepada mereka.”
            “Kamu ini, seperti tak percaya kepada Allah saja!” Ucap Kang Hardi.
            “Lho, kenapa harus memunculkan pernyataan yang seperti itu Kang?”
            “Setiap orang itu memiliki perjalanan hidup yang berbeda, tidak mungkin akan selalu disakiti oleh cinta. Lagipula, cinta itu sendiri bersih. Yang salah hanya ada dua kemungkinan, salah orang dan salah cara mencintai itu sendiri.”
            “Wah, Akang jago juga ya mendefinisikan apa itu cinta.”
            “Bukannya jago, tapi apa kamu tak berpikir dan tak melihat bagaimana kisah Akang? Akang sudah menikah dengan Teh Melsa, apakah akang tidak bahagia dan tersakiti?”
            “Ya, mungkin kisah hidup akang seperti itu. Tetapi Zahra memang begini. Mungkin, belum baik diri Zahra menurut Allah. Mana mungkin Zahra memberontak dan memprotes?”
            “Banyak-banyaklah berdo’a dan berikhtiar, dengan cara memperbaiki diri. InsyaAllah, nanti kalau memang sudah saatnya kamu siap dan sudah benar-benar bisa membuka hati. Jodohmu akan datang.” Ucap Kang Hardi.
            “Sudah, ayo makan siang dulu.” Ucap ibunya.
            Mereka semua pun makan bersama di rumah.
            Zahra merasa sangat bahagia bisa merasakan kebahagiaan yang teramat dalam keluarganya ini. Dia sempat berpikir bagaimana jika dia tak perlu menikah dan hanya menghabiskan waktunya untuk menjaga dan mengurus kedua orangtuanya. Karena sama saja pada dasarnya hidup ini hanya untuk beribadah, lagipula menikah itu kan perintahnya tidak wajib. Tetapi..
            Wajah Zahra pun akhirnya tiba-tiba pucat, dia seperti bersedih dan ingin menangis. Mengingat kondisi ayahnya yang tak sehat. Mengingat dan terus dihantui oleh kata-kata ayahnya yang ingin melihat Zahra untuk menikah.
            Ayahnya melihat wajah tak bahagia dari anak gadisnya itu. Sang ayah pun akhirnya membawa diri dan kursi rodanya ke luar rumah, ia merenung sendiri melihat pemandangan luar.
            Sang ayah pun mengodok saku celananya, dan di kantung bajunya terdapat kertas dan juga pulpen. Sang ayah pun mulai menuliskan sesuatu di atas kertas putih itu.
            “Zahra, abi sangat tahu apa yang sedang kamu lamunkan dan kamu sedihkan saat ini. Maafkan abi jika permintaan abi membuatmu susah. Abi hanya sangat menyayangi anak gadis abi yang satu-satunya abi miliki. Abi bukannya iri kepada mereka yang telah menikahkan anak gadisnya, hanya saja. Abi tak sanggup menahan rasa sedih jika kamu pun sebenarnya ingin merasakan cinta yang ada di dunia ini walau sebenarnya masih ada yang lebih utama. Namun, menikah tak ada salahnya. Abi sangat ingin melihat kamu memakai gaun pengantin dan mendapatkan pasangan yang shalih, yang lebih dari abimu ini. Do’a abi selalu mengiringi setiap langkah kakimu, nak. Berbahagialah demi Abi dan Umi.”
            Lembar kertas yang telah tertuliskan ayahnya pun sengaja di jatuhkan ke lantai. Zahra yang melihat ayahnya sedang sendirian di luar. Akhirnya Zahra pun menyusul ayahnya keluar. Dan..
            Zahra melihat ada gulungan kertas yang terlihat begitu rapih, Zahra pun mengambilnya dan bermaksud untuk membuang kertas itu ke tempat sampah. Tetapi, setelah semenit dari itu. Ayahnya pun menarik baju Zahra dan menyuruh Zahra untuk membuka kertas itu. Akhirnya, Zahra pun membukanya dan membaca apa yang telah tertulis di dalamnya.
            Zahra pun menangis saat itu juga, ia menangis di pelukan ayahnya. Ia mencium tangan ayahnya yang dibanjiri oleh air matanya yang begitu deras mengalir.
            “InsyaAllah, Zahra akan berikhtiar mencari jodoh Zahra abi. Abi sabar ya.” Ucap Zahra yang meyakinkan ayahnya.
2 Bulan Kemudian
            “Abi, Zahra janji akan menemukannya. Abi jangan dulu pulang.” Ucap Zahra yang berada di samping kanan ayahnya yang terbaring di atas kasur tak sadarkan diri. Ya, ayahnya koma semenjak satu bulan yang lalu.
            Tak terpikir bagaimana caranya untuk menemukan pasangan yang kan menemani hari-hari Zahra nantinya, yang Zahra pikirkan hanyalah kesehatan ayahnya. Batinnya begitu sakit, dadanya begitu sesak. Dilema yang benar-benar tak berkesudahan.
            “Zahra sudahlah, ayo cepat kamu bergegas untuk mencari pasanganmu di manapun, di pesantren atau di sekolah madrasah. Carilah yang terbaik menurut agama.” Ucap Ibunya kepada Zahra yang sedang menangis terisak disamping ayahnya.
            “Umi, masa harus aku yang mencarinya? Aku kan wanita Umi?”
            “Memangnya mengapa dengan wanita? Bukankah Siti Khadijah pun..”
            “Iya Umi, Zahra akan mencobanya.”
2 Minggu kemudian
            Siapapun yang menemukan ini, aku harap dia adalah seorang ikhwan yang terbaik. Ah, tak perlu terbaik. Minimal, mempunyai kebiasaan yang baik dan ingin melakukan kebaikan. Tak perlu tampan hanya sebatas nyaman untuk dipandang. Aku menantimu di rumahku. Ikhwan, seorang ikhwan yang baik. Siapapun.. cepatlah datang dan lamarlah aku.”
Zahrania Khairunnisa
            Disertakan pula alamat rumah lengkap Zahra pada kertas itu. Zahra hanya bisa menuliskannya di sepucuk kertas dan menyelipkannya di semak-semak, taman yang hanya orang-orang tertentu yang mendatanginya. Biasanya sih, banyak juga anak santri yang lewat ke situ. Entahlah, Zahra hanya bisa berikhtiar dan berdo’a agar ada yang menemukan dan membaca surat itu.
            Akhirnya, selang beberapa jam Zahra pulang ke rumahnya. Datanglah seorang pria yang tak lain adalah teman sekolah MTs nya dahulu. Ya, seseorang yang telah lama memendam rasa cinta kepada Zahra. Namun, karena pria itu tak berani mengungkapkan dan melihat Zahra yang sangat pandai juga berparas cantik bahkan shalihah, ia tak percaya diri dengan kondisinya yang sangat jauh berbeda dengan Zahra. Namanya, Noval.
            Noval yang menemukan dan membaca kertas itu tiba-tiba saja terkaget, karena dia tak menyangka bahwa sampai saat ini Zahra belum juga menikah, padahal usianya sudah menginjak 26th. Dan menurut idealnya, usia 26th memang sudah sangat terlambat bagi wanita.
            Kali ini, Noval memantapkan dirinya untuk mempersunting gadis pilihannya sejak Mts lalu. Dengan melibatkan Allah dalam ikhtiarnya, ia pun melaksanakan shalat istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah.
            Setelah benar-benar mantap segalanya, Noval pun bergegas meminta izin dan meminta bantuan dari keluarganya untuk melamar Zahra dan datang ke rumah Zahra. Mereka pun akhirnya setuju. Dan dalam hitungan waktu 2 hari, mereka pun datang berkunjung ke rumah Zahra.
2 Hari Kemudian
            “Assalamu’alaikum..” Terdengar suara pria dari luar rumah.
            Zahra pun membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan tamu itu masuk. Zahra tak menyadari bahwa pria itu adalah Noval teman sekelasnya sewaktu MTs.
            “Zahra, bagaimana kabarmu?” Ucap Noval yang terlihat begitu malu-malu.
            “Lho, kok. Kamu tahu namaku?” Tanya Zahra terkaget.
            “Kamu lupa? Aku Noval. Teman sekelasmu waktu MTs, masih ingat?” Jawab Noval.
            “MaasyaAllah.. Hampir saja lupa. Ya, Noval. Yang terkenal dengan sastranya. Setiap di MTs selalu mengirimkan puisi dan menempelkannya di mading. Ya, Zahra ingat.” Ucapnya penuh dengan senyuman.
            “Kamu dari dulu gak berubah ya,”
            “Lho, memang bagaimana?”
            “Tetap manis dan ya begitulah.”
            Zahra pun terlihat begitu malu mendengar pernyataan teman lamanya mengenai dirinya itu.
            “Ada apa kemari Noval?”
            “Lho, bukannya kamu yang menulis surat itu di taman sana kan?”
            “Hmm..” Zahra mencoba mengingat-ingat.
            “Ya Allah, jadi kamu yang menemukan surat itu?” Jawab Zahra terkaget.
            “Iya, kenapa? Keberatan? Atau, aku kurang masuk syarat?”
            “Hehe.. Nggak kok. Aku gak nyangka, yang menemukan surat itu justru kamu yang aku kenal. Aku takutnya malah orang jahat dan orang gila yang menemukan itu, bahkan tak ada yang menemukannya sama sekali. Tapi, memangnya kamu belum menikah?”
            “Belum, kan aku memang sedang menunggu.”
            “Menunggu?”
            “Iya, menunggu gadis pilihanku sedari dulu.”
            “Indahnya, memang siapa?”
            “Hadeuh, kamu gak sadar? Aku kemari memangnya untuk apa?”
            “Memangnya untuk apa?”
            “MaasyaAllah.. Sudah, dengarkan saja ayahku bicara nanti.”
            “Hihi.. Iya, siap deh.”
            Akhirnya, keluarga Noval pun memberitahu maksud kedatangan mereka semua ke rumah Zahra kepada Ibu Zahra. Karena memang pada saat itu, kondisi ayah Zahra masih dalam keadaan koma. Ibu Zahra meminta waktu untuk menunda acara lamaran dan pernikahan anak-anaknya itu dengan alasan ingin menunggu ayah Zahra sadar dari komanya. Dan keluarga Noval pun menyetujuinya.
            Perasaan Zahra diliputi kebahagiaan namun kesedihan yang teramat. Bagaimana kalau ayahnya tak kunjung sadar dan malah justru meninggal. Bagaimana juga kalau pernikahannya tak pernah terjadi sama sekali. Bagaimana, bagaimana dan bagaimana. Itulah yang terus mengelilingi otak Zahra. Pagi, siang bahkan malam sekalipun. Zahra hanya bisa bersabar dan terus bertawakal. Apapun hasilnya, Zahra harus bisa mengikhlaskan.
1 Bulan Kemudian
            “Alhamdulillah..” Ucap Ibu dan Zahra ketika melihat ayahnya tersadar dari komanya.
            Kali ini, di rumah Zahra bukan hanya Zahra dan ibunya saja. Tetapi semua kakak-kakak Zahra beserta keluarganya berkumpul. Karena, mereka tahu bahwa Zahra akan segera menikah. Dan bersiap siaga kalau-kalau terjadi sesuatu dengan ayahnya. Akhirnya, setelah beberapa hari ayahnya Zahra tersadar dari komanya. Zahra pun memutuskan untuk menikah di bulan ini dan tanggalnya pun dipercepat, agar tidak ada lagi kendala yang lain-lain lagi. Akhirnya, setelah beberapa hari ayahnya pulih. Pernikahan itupun dilangsungkan.
            Betapa bahagianya Zahra akan kejadian hari ini. Semua keluarganya tersenyum bahagia, namun Zahra malah menangis bersedih karena dia pun harus meninggalkan ayah dan ibunya untuk pergi bersama dengan Noval yang saat ini jadi suaminya.
            Ketika acara akad dan resepsi pernikahan selesai. Pada malam harinya justru kondisi sang ayah kembali memburuk dan nafasnya pun tak lancar.
            Zahra malah kembali menangis bersedih melihat ayahnya yang kembali tak sehat.
            Ayahnya pun menangis tak tertahankan, dan beliau mengungkapkan sesuatu kepada keluarga semuanya.
            “Abi bahagia akhirnya Zahra menikah, abi sangat bersyukur bisa melihat Zahra menikah. Tapi, abi tahu. Abi sudah terlalu tua, permintaan abi kepada kalian semua hanyalah jaga keimanan dan ketauhidan kalian kepada Allah. Semua akan kembali kepada-Nya.” Air mata sang ayah tua itu terus mengucur deras membasahi pipinya. Semua anak-anaknya pun tak sanggup membendung rasa sedih dan isak tangis, apalagi Zahra.
            Ia mendekap erat tubuh ayahnya yang tak lama dari lima menit kemudian, ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya. Zahra pun mendekap erat tubuh suaminya dan ia menangis dengan derasnya.
            Ya, janur kuning itu. Dibarengi dengan bendera kuning. Kepergianku dari sisi kedua orangtuaku, dan kepergian ayahku dari dunia ini. Allah, entah apa yang harus aku ucapkan saat ini. Apakah aku harus menangis bahagia karena pernikahanku, atau malah menangis karena kepergian ayahku. Sungguh berat Allah, aku tak bisa berbahagia disaat kepulangan ayahku kepada-Mu. Ikhlaskanlah aku.. Terangilah perjalanannya di sana, ampunilah dosanya Allah.. Aamiin aamiin aamiin..
            Dan seluruh keluarga pun menshalati jenazah dan keesokan harinya mengubur jenazah ayahnya.

Jumat, 07 Maret 2014

Sekotak Melodi Hitam

Edit Posted by with No comments


Nampaknya, langit di pagi hari ini terlihat begitu cerah membiru. Suara gemercik air yang mengalir begitu nyaring terdengar di ujung sana. Sawah yang luas, hijau dan subur. Para petani pun sibuk panen ketika itu. Udara yang bergerak pun begitu lembut mendesir.
            “Haaah.. Sejuknya di sini. Di kota mana ada yang kayak gini. Indah sekali.” Ucap seorang gadis bernama Lilia yang kebetulan sedang berlibur di pedesaan tempat kakeknya tinggal. Lilia begitu menikmati udara yang begitu sejuk di bukit sana. Katanya, di Kota itu penuh dengan polusi, banyak kendaraan yang berlalu lalang, tidak sedamai di pedesaan yang sejuk dan begitu hening. Ia bisa menikmati alam sebebas mungkin.
            Terlihat di samping kiri kaki Lilia sebuah batu yang sangat unik. Kemudian, Lilia pun mengambil batu tersebut dan memainkannya. Ia lempar batu itu ke udara kemudian ia tangkap lagi dengan tangannya. Setelah beberapa menit ia menikmati udara yang begitu sejuk di atas bukit yang letaknya lumayan dekat dengan rumah kakeknya. Lilia melihat seorang pria mengenakan baju tangan panjang seperti pada saat para pria akan melakukan shalat ied atau shalat jum’at, baju koko dan mengenakan sarung.
            “Siapa lelaki itu, ganteng banget.” Pikir Lilia sembari menatap tajam ke arah pria itu berada. Bola matanya mengikuti langkah kaki sang pria itu hingga sang pria pun hilang dari pandangannya. Lilia pun kembali mengulang memainkan batu yang digenggamnya.
            Pak Sutarno pun berhenti dari pekerjaannya dan duduk di dekat Lilia. Pak Sutarno itu adalah kakeknya Lilia.
            “Kek, di sini asli indah banget tempatnya. Sejuk. Kakek pantes aja betah diem di sini.” Kata Lilia yang penuh dengan semangat.
            “Haha.. Ya, beginilah keadaan desa. Selalu sejuk. Nanti, kamu tinggal saja di sini. Ikut pesantren sana. Kamu ini udah besar tapi belum dewasa aja.” Kata Pak Sutarno yang berbicara kepada Lilia sambil melihat pakaian Lilia yang kurang nyaman di pandang.
            “Lha, memangnya Lilia belum dewasa dari segi apanya menurut kakek? Lilia gak merasa tuh.” Jawabnya yang tengah keheranan dengan mengkerutkan keningnya, menatap wajah kakeknya secara serius dan begitu dalam.
            “Nanti kamu pikirkan sendiri. Jaga dirimu sebagai wanita!” Kata Pak Sutarno yang kemudian bergegas pergi meninggalkan Lilia.
            Lilia kebingungan menafsirkan segala apapun yang kakeknya katakan mengenai dirinya.
            “Apa? Kenapa?” Gerutunya sambil melihat batu kecil yang digenggamnya itu.
            Setelah lamanya menikmati udara di pagi hari di atas bukit, Lilia pun kembali ke rumahnya. Ia menikmati hidangan di siang hari bersama dengan kakek, nenek, dan juga bibi serta pamannya. Setelah selesai makan siang bersama, seluruh orang yang mengisi rumah itu pun bergegas melaksanakan shalat dzuhur. Namun Lilia, malah asyik membuka album yang tersimpan di bawah meja, yang mana album itu banyak menyimpan sketsa wajah sang bunda yang telah lama tiada.
            “Hihihi.. Mamah lucu sekali waktu kecil.” Gumamnya sembari senyum-senyum melihat gambar wajah ibundanya ketika masih kecil.
             “Lia, kamu gak sholat?” Tanya bibinya yang tengah merapikan kain mukena dan sajadahnya.
            “E..eh.. Hah?” Lilia gugup tak bisa menjawab. Lilia nampaknya keheranan, ia bingung harus menjawab apa. Karena, memang ia tak terbiasa untuk melaksanakan shalat.
            “Ayo sholat! Sudah adzan.” Lanjut bibinya.
            Lilia tak bisa menjawab, ia hanya menunduk dan berpikir untuk mengadakan pembantahan agar ia tak disuruh-suruh lagi shalat.
            Berjam-jam Lilia duduk dan membuka-buka album lama milik Neneknya itu, kemudian setelah jarum jam mengarah tepat pada pukul setengah tiga sore, bibinya pun bertanya kembali perihal shalat itu. Dengan nada yang agak menyinggung.
            “Tidak shalat? Lagi halangan?”
            “Hah? Oh.. Hee.. Iya..” Kata Lilia yang kemudian menunduk karena malu dan juga takut kalau bibinya curiga ia sedang berbohong.
            “Tapi bibi tak melihat kamu seperti sedang halangan. Hmm.. Liaa.. Liaa.. Kapan kamu sadarnya!” Ucap bibinya yang melangkah pergi menuju dapur.
            Kemudian Lilia pun menyalakan televisi, bibinya kembali lagi dari arah dapur dan kemudian membuka kulkasnya. Ia tuangkan air putih dari botol ke dalam gelas yang tengah ia genggam. Lalu,
            “Mamahmu dulu itu rajin pergi mengaji. Masa gak nurun sama kamu sih rajinnya.” Tukas bibinya.
            “…” tak ada jawaban dari Lilia. Ia terus menikmati siaran yang disajikan oleh benda elektronik itu.
            Tak lama dari itu, Lia pun pergi dari ruang televisi menuju ke toilet. Lilia nampaknya mulai tidak betah diam di rumah ini, seolah ditekan dan direndahkan karena tidak shalat. Ia merasa terusik dan terganggu. Seketika saja Lilia ingin pulang dari rumah kakeknya itu.
            “Lia gak jadi liburan di sininya. Lia pengen pulang aja!” Ucap Lia terlihat begitu kesal.
            “Lho, kenapa mendadak begitu? Kamu gak betah di sini?” Tanya neneknya begitu ramah.
            “Abis di sini orangnya pada kolot semua.” Tukas Lilia sambil memeluk erat bantal kecil yang di letakkan di atas sofa.
            “Kolot gimana Lia? Aduh.. Kamu ini.” Ucap bibinya.
            Mendengar ucapan bibinya, membuat Lilia semakin panas dan merasa dikompori. Lilia pun pergi ke kamar dan mengurung diri. Ia menangis sejadi-jadinya. Karena terlalu lama menangis, ia pun tertidur.
            Setelah 2 jam tertidur, Lilia pun terbangun. Namun, ia terbingungkan dengan warna langit yang tengah membiru gelap. Lilia heran, apakah hari ini masih di hari yang sama, ataukah sudah berganti hari. Kepalanya sedikit pening, dan pundaknya pun terasa nyeri karena posisi tidurnya yang tidak teratur. Ia melihat bibinya sedang shalat. Lilia semakin bingung dan bertanya-tanya. Akhirnya, ia pun tertidur lagi.
***
Keesokan Harinya
            Pagi pun bertemu lagi dengan pagi, dengan cuaca yang sama seperti kemarin hari. Cerah, burung-burung pun ikut meramaikan suasana di pagi ini. Angin yang berhembus pun terasa menyejukkan. Lilia, lagi-lagi menikmati pemandangan alam hari ini di atas bukit yang sama. Dan kali ini, ia kedatangan pria yang sempat ia lihat di hari kemarin.
            “Hai..” Sambut si pria dengan mengulurkan tangannya.
            “Eh, Hai..” Jawab Lilia menyambut uluran tangan pria itu.
            “Lagi apa di sini? Kamu cucunya Pak Sutarno?” Kata pria itu.
            “Iya, aku cucunya. Aku di sini lagi nikmatin pemandangan aja. Kamu siapa? Nama kamu?” ucap Lilia melirik ke pria itu.
            “Oh, aku Pratama. Panggil aja Tama” jawabnya sambil melemparkan batu-batu kecil yang berada dekat dengannya.
            “Ooh.. iya”
            Seketika suasana menjadi hening. Mereka berdua sepertinya membiarkan burung-burung yang kali ini berbicara dengan kicauannya. Kemudian, setelah beberapa menit membisu. Tama pun membuka pembicaraan.
            “Setiap kali aku lagi jenuh, banyak pikiran dan tekanan. Aku selalu diam di bukit sini, karena hanya di sini aku bisa mendapatkan ketenangan. Aku merasa lebih dekat dengan-Nya di tempat seperti ini. Aku merasa bahwa aku hanya berdua saja dengan-Nya di alam terbuka seperti ini.”
            “Hmm.. Aku heran, kenapa kita harus sholat?” tanya Lilia begitu terlihat sedikit kesal.
            “Kadang, aku suka bertanya sendiri. Kenapa aku hidup, kenapa aku harus ada di dunia ini. dan kenapa semua orang memiliki banyak Tuhan. Aku heran, aku bingung. Mereka seperti memperebutkan Tuhan. Tapi, baik ke manusia lainnya hanya ketika mereka butuh. Bukannya aku gak percaya adanya Tuhan. Tapi, aku bingung. Tuhan itu yang benernya yang mana?” kata Lilia melanjutkan pembicaraan.
            “Kamu meyakini yang mana? Pak Sutarno itu getol ibadahnya, ke mesjid tiap hari. Gak lupa sholat berjamaah. Kamu gak meyakini bahwa itu adalah agama yang paling lurus dan benar?”
            “Kenapa ada agama? Kenapa semua punya agama yang berbeda. Dan kenapa, setiap tahun yang berlaku pun berbeda. Kenapa begitu banyak perbedaan di dunia ini? Kenapa juga, orang-orang terlalu banyak mengutarakan perbedaan. Bagaimana mereka yang tak mengerti apa arti dan makna dari perbedaan.”
            “Hentikan pemikiran liarmu! Kamu cukup mempercayainya saja, kamu cukup taati-Nya saja. Kamu tidak akan dipandang hebat dengan banyaknya dan pandainya kamu berbicara dan berpikir dengan logika-logikamu. Jujur, aku merasa tersakiti atas pernyataanmu kali ini.” Tama pun beranjak pergi dan menjauh dari Lilia.
            Tetapi, tak lama lagi. Tama pun kembali dan duduk bersama dengan Lilia. Nampaknya Tama tengah bersikap salah dan sangat bodoh jika harus memilih pergi karena mengikuti amarahnya. Seharusnya, Tama bisa membimbing dan mencoba meluruskan pemikiran Lilia.
            “Kenapa balik lagi?” Tanya Lilia melirik tajam.
            “Hanya ingin menyampaikan sesuatu. Kamu dengarkan baik-baik. Jika memang kamu begitu pandai dengan logika-logikamu, perhatikan semua ciptaan ini. Pikirkanlah dengan matang. Tak ada paksaan dalam agama. Hanya saja, aku tak ingin kamu menderita akhirnya. Dengan membawa segunung penyesalan. Jangan membawa tuhan-tuhan yang lain. Pikirkan saja akhlakmu!” Tama pun kembali pergi dari Lilia.
            Lilia pun berpikir banyak sekali. Hingga sampai pada saat ia kembali ke rumahnya, dan mendapati nenek serta bibinya sedang shalat. Lilia berpikir dengan keras. Ia pun pergi ke toilet, setelah itu ia membasuh wajahnya tiga kali. Ia pun bercermin.
            Tak lama kemudian, air matanya menetes. Ia begitu merindukan ibundanya. Sedang apa ibundanya itu. Lilia mencoba untuk mengalahkan egonya, ia mencoba untuk mengalah pada pemikiran-pemikirannya yang tajam. Ia menggunakan hati nuraninya berbicara. Kemudian, ia mengingat kembali masa-masa sekolahnya dulu, saat ia masih duduk di bangku SMP. Ia malah sering pergi ke toilet dan kantin daripada ke mushalla.
            “Ya, tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Mustahil bagi manusia untuk menciptakan semua itu. Sebutir debu pun nyaris hilang dari genggaman. Asyhadu alaa ilaha ilallah, wa asyhadu annaa muhammadar rasulullah
            Tapi, rupanya Lilia masih malu-malu untuk mengenakan mukena. Ia malu jikalau ia diusili oleh bibinya. Lilia pun gamang seketika. Beberapa kali ia melihat ke arah sajadah dan mukena. Namun tak juga ia berani mencoba.
            “Dobrak segala keraguanmu. Ibadah bukan untuk dipandang manusia, tetapi Allah. Sholatlah sekarang juga, sebelum petugas Allah datang menghampirimu.” Ucap bibinya.
            “Bibi kok tau sih” gumamnya dalam hati, “petugas apa?” kata Lilia keheranan.
            “Malaikat maut, kamu ini kayak gak pernah belajar agama islam saja.” Tukas bibinya.
            “Oh..” jawab Lilia sembari mengambil sajadah yang terletak di atas kasur.
            Perlahan, ia membuka dan mengamparkan sajadahnya itu.
            “Haduuh, sholat gak yaaa..” pikirnya yang masih saja malu.
            “Ah, sudahlah. Tinggal sholat aja apa susahnya.” Ketika sudah rapi dengan mengenakan kain mukena. Tiba-tiba saja ia mengeluh.
            “Baca apa yah. Aku gak hafal semua. Aduh..” keluhnya sambil menepak-nepak jidatnya tiga kali.
            “Ah, sholat aja deh. Yang penting niatnya dulu.” Lilia pun akhirnya shalat meskipun tak hafal semua bacaan shalatnya.
            Seusai shalat, ia merasa seperti hidup di antara beberapa pohon. Adem. Perasaannya pun berubah menjadi damai. Melihat rambutnya yang berwarna merah dan juga pink di beberapa helainya, Lilia merasa malu. Benar-benar malu. Ia merasa tak percaya diri jika harus mengenakan busana yang serba terbuka, juga dengan rambutnya yang terlihat seperti orang gila.
            “Ih, aku perempuan jadi-jadian ya? Dulu, aku emang kelihatan cantik dengan pakaian yang serba minim begini, ini trendi loh. Tapi, kenapa waktu aku pakai mukena dan shalat tadi. Aku rasa, aku pakai pakaian yang begini kayak gak pake baju ya. Aduh.. aaaah aku harus gimana ini? Masa pake mukena?” gerutunya sambil menepak-nepak pipinya beberapa kali.
***
Keesokan Harinya
            “Kek, aku pingin ikut pengajian dong sama anak-anak di sana. Aku malu.” Kata Lilia kepada kakeknya yang tengah membaca Koran di teras.
            Alhamdulillah, ya kesana saja lah. Kenalan sama perempuan-perempuan di sana.” Jawab kakeknya penuh dengan senyuman.
            “Tapi aku malu kek dengan pakaian yang kayak gini. Terus, rambut aku yang warna-warni gini harus digimanain?” keluh Lilia.
            Neneknya pun datang sembari memegang pundak Lilia. Dan berkata,
            “Kamu pinjam baju milik Bi Uni, pasti ia pinjamkan.”
            Akhirnya, Lilia pun mengenakan busana panjang dan serba tertutup. Hingga saat ia mengikuti pengajian dan bertemu dengan Pratama, pria itu pun begitu tercengang melihat perubahan Lilia yang begitu drastis. Ia tak menyangka bahwa Lilia akan berubah secepat itu. Tama pun hanya bisa tersenyum bangga melihat penampilan Lilia kali ini.
            Subhanallah. Ia begitu cantik mengenakan jilbab. Astaghfirullahaladhim..” Tama pun memalingkan pandangannya.
***
            Pengajian pun selesai, Lilia berhasil memiliki beberapa teman akhwat. Ketika Lilia sedang berjalan menuju rumah, ia bertemu dengan Pratama di belokan ujung ke dua. Lilia pun tersenyum kepada Tama, Tama pun menundukan pandangannya.
            “Kenapa perasaan aku jadi malu gini ya sama Tama, jantung aku juga kerasa berdetak lebih kencang, panas. Aduh, jadi panas dingin. Aku kenapa yah?” gumam Lilia dalam hati.
            Lilia pun sampai di rumahnya. Hingga beberapa hari terlewati, hampir selesai Lilia menikmati waktu liburannya di desa ini. Tapi, senyuman Lilia kepada Tama di sore itu memang senyumannya yang terakhir. Sampai detik ini pun, Lilia belum bertemu dengan Pratama lagi. Hingga sebuah rasa bernama rindu pun muncul. Hanya tinggal tiga hari lagi Lilia menghabiskan waktunya di desa ini. Lilia berharap agar bertemu Pratama sebelum ia pulang ke Jakarta.
            Tidur hingga bertemu tidur lagi, menikmati udara sejuk di pagi hari di atas bukit selalu, dan begitu selalu selama hampir satu bulan lamanya Lilia tinggal di rumah kakeknya. Dan hari ini adalah hari terakhir Lilia menikmati udara di pedesaan ini. Lilia menunggu Pratama di atas bukit, saat pertama kali ia melihat Pratama, dan juga berdiskusi kecil dengan Tama. Lilia menunggu dan terus menunggu. Namun, sampai satu jam lamanya pun. Tama tak juga datang.
            “Ah, berasa kayak di sinetron. Yaudah, aku pulang ya Tama. Terimakasih atas nasihatmu waktu itu. Aku tau sekarang. Aku pulang ke Jakarta sore ini. Semoga, suatu hari nanti kita dapat bertemu lagi. Lilia” Ia tuliskan semua pesan-pesannya di secarik kertas dan ia taruh di atas bukit itu dengan ditindihkannya batu kecil yang unik yang selalu ia mainkan guna menahan kertas itu tidak terbawa oleh angin.
            Lilia pun akhirnya pulang ke Jakarta dengan meninggalkan sekotak melodi hitam. Dimana semua senandung kisahnya begitu kotor, hitam, seperti halnya debu yang telah menggunduk sekian lamanya. Di desa itulah, tempat dimana ia meninggalkan sekotak masalalunya yang begitu mengenaskan. Beragama, namun hidup tak beragama. Dan setelah 2 jam lamanya kepergian Lilia, Tama pun datang ke atas bukit. Dan ia membaca apa yang telah dituliskan oleh Lilia untuknya. Tama hanya tersenyum kecil ketika membacanya. Ia berpikir, bahwa Lilia mulai tertarik kepadanya. Tapi, sangat tak terbesit di dalam benaknya. Tama hanya berharap, agar Lilia dapat menjadi wanita yang menghiasi dunia karena keindahannya.