Terlihat wajahnya yang nampak kusut dan mulutnya
terbata seperti ingin mengungkapkan sesuatu. Zahra yang melihat ayahnya yang
begitu terlihat bersedih seolah tak kuasa untuk meneruskan niatannya untuk
pergi melanjutkan pendidikannya di Universitas Kairo, Al-Azhar sana.
“Abi,
abi mau berkata apa kepada Zahra?” Tanya Zahra yang mendekat kepada ayahnya
yang sedang duduk di kursi roda.
Dengan
berat hati untuk mengatakan itu semua, karena memang usianya yang sudah
terbilang sangat tua. Dan ayah Zahra pun sedang mengalami struk ringan. Ayahnya
pun berkata sesuatu kepada anak gadis bungsunya itu.
“Se..ge..ralah..
me..ni..kah, nak!” Ucap ayahnya yang seketika tak kuasa untuk menahan sesak di
dadanya. Zahra tak begitu memikirkan apa yang ayahnya katakan, serentak Zahra
mengangkat ayahnya untuk berbaring di tempat tidurnya.
“Umi..
Umi..” Teriak Zahra memanggil ibunya.
“Ya
Zahra.. Ada apa?” Sahut ibunya dari dapur.
“Abi
tiba-tiba sesak nafas Umi, kemarilah.”
Ibunya
pun terkaget dan segera berjalan cepat menghampiri Zahra dan melihat keadaan
suaminya.
“Mengapa
seperti ini, Zahra?” Tanya ibunya kepada Zahra yang sedang menangis di samping
kiri ayahnya.
“Abi
menginginkan Zahra untuk segera menikah, Umi.” Ucap Zahra yang tak kuasa
membendung rasa sedih dalam hatinya.
“Lalu,
bagaimana denganmu nak? Apakah sudah mempunyai calon pendamping?” Tanya ibunya
dengan tatapan mata yang begitu mendalam seolah memelas.
Zahra
tak sanggup melihat sorot mata ibundanya, Zahra hanya menunduk dan kemudian ia
langsung pergi meninggalkan kamar ayahnya dan segera bergegas ke kamarnya untuk
merenungkan perkataan ayahnya.
Bagaimana mungkin aku bisa menyakiti
perasaan seorang ayah, ibu. Mana mungkin. Tetapi aku juga tak bisa lari begitu
saja dari kenyataan yang ada. Aku bahkan bingung, mengapa sampai saat ini aku..
apakah aku terlalu banyak dosa-dosa? Ah..
Begitulah
yang dipikirkan oleh Zahra. Ia hanya bisa melamun dan membayangkan, bagaimana
jika dia tak bisa membahagiakan ayahnya. Bagaimana jika ayahnya pergi terlebih
dahulu sebelum ia menikah. Sangat-sangat menyesakkan batinnya.
Senja
pun berganti menjadi malam, tak ubahnya. Sang ayah hanya bisa terbaring lemah
tak berdaya di atas kasurnya. Sang ibu yang tiada hentinya berdzikir dan
menangis di atas sajadahnya. Mengadu kepada yang memiliki naskah hidup ini.
Sedang Zahra, hanya bisa termenung menopang dagu tak mengerti. Mencari celah
untuk menemukan sebuah jawaban, apa yang harus ia lakukan. Sementara segudang
prestasi dan impiannya telah hadir di depan mata. Kesempatan ia untuk kuliah di
tanah Kairo itu adalah impiannya sedari dulu. Namun, bila kenyataannya seperti
ini. Zahra bingung harus mengambil sikap yang seperti apa.
Keesokan Harinya
“Assalamu’alaikum
warahmatullah,” Ucap seorang pria dari balik pintu.
“Wa’alaikumussalaam
warahmatullah,” Jawab Zahra sambil membuka pintu
“Eh,
Kang Hardi. Sengaja mampir Kang?” Ucap Zahra yang terkejut ketika melihat bahwa
tamu yang datang ke rumahnya kali ini adalah kakak ke-duanya.
“Iya,
Akang sengaja kesini. Apakabarnya Abi sama Umi?” Tanya Kang Hardi sambil masuk
ke rumah dan duduk di karpet yang telah dihamparkan di lantai.
“Abi
masih begitu sajalah Kang, malah kemarin Abi sesak nafas. Umi Alhamdulillah sehat,
oh ya. Kemana Teh Melsa?”
“Abi
sesak nafas kenapa? Ada masalah? Pasti karena kamu ya?”
“Ah,
akang. Gitu deh. Umi, ini ada Kang Hardi.” Teriak Zahra memanggilkan ibunya.
“Tunggu
Kang, Zahra ambilkan dulu minum.”
Zahra
pun mengambilkan minum dan suguhan lainnya di dapur, sementara itu Umi dan Abi
Zahra pun keluar dari kamar menemui anak ke-duanya.
“Assalamu’alaikum
Umi, Abi. Sehat?” Ucap Kang Hardi sambil menundukkan kepalanya mencium tangan
abi dan uminya.
“Wa’alaikumussalaam,
Alhamdulillah. Bagaimana denganmu sendiri nak? Bahagiakah di Jogja sana?” Ucap
ibunya.
“Hardi
sehat Umi, Alhamdulillah.”
Zahra
pun kembali dari dapur dengan membawakan minum dan makanan ringan untuk disuguhkan
kepada tamu.
“Umi,
Zahra bertanya tentang Teh Melsa belum Kang Hardi jawab. Kemana Kang?”
“Oh
iya, mengapa kamu datang kemari sendirian, Hardi?” tanya ibunya.
“Melsa
baik-baik saja, hanya saja dia tak ikut. Karena, di rumah sedang ada renovasi. Lagipula,
Pandu sedang sakit sudah satu minggu.” Jawab Kang Hardi.
“Innalillah,
sakit apa Kang?” Tanya Zahra.
“Demam,
nafsu makannya menurun.” Jawabnya.
“Gimana,
sudah punya calon belum?” Lanjut Kang Hardi kepada Zahra.
“Ah,
Kang. Zahra galau kalau ditanya tentang pasangan.” Jawab Zahra.
“Lho,
kenapa?” Tanya Kang Hardi memasang wajah penasaran.
“Ah,
entahlah Kang.”
“Sudah,
tak perlu membahas pasangan Zahra. Nanti malah jadi pikiran buat Abi.” Ucap
Ibunda mereka berdua.
“Nah
kan, kata Akang juga tadi apa. Kamu penyebabnya!” Ucap Kang Hardi sambil
menyentil telinga Zahra.
“Aduuh..
Kang, mana Zahra tahu bakal seperti begini kejadiannya. Lagian, bukannya Zahra
tak mau mencari pendamping. Tapi, entahlah. Belum ada yang menyatakan
perasaannya kepada Zahra.”
“Kamu
sendiri suka sama siapa Zahra?”
“Zahra
bingung menafsirkan apa itu cinta. Kebanyakan yang Zahra tahu, semua yang
mencintai akhirnya tersakiti dan menyalahkan cinta itu sendiri. Zahra takut
kalau Zahra pun akan diperlakukan yang sama oleh cinta, sama seperti yang
dilakukan cinta kepada mereka.”
“Kamu
ini, seperti tak percaya kepada Allah saja!” Ucap Kang Hardi.
“Lho,
kenapa harus memunculkan pernyataan yang seperti itu Kang?”
“Setiap
orang itu memiliki perjalanan hidup yang berbeda, tidak mungkin akan selalu
disakiti oleh cinta. Lagipula, cinta itu sendiri bersih. Yang salah hanya ada
dua kemungkinan, salah orang dan salah cara mencintai itu sendiri.”
“Wah,
Akang jago juga ya mendefinisikan apa itu cinta.”
“Bukannya
jago, tapi apa kamu tak berpikir dan tak melihat bagaimana kisah Akang? Akang
sudah menikah dengan Teh Melsa, apakah akang tidak bahagia dan tersakiti?”
“Ya,
mungkin kisah hidup akang seperti itu. Tetapi Zahra memang begini. Mungkin,
belum baik diri Zahra menurut Allah. Mana mungkin Zahra memberontak dan
memprotes?”
“Banyak-banyaklah
berdo’a dan berikhtiar, dengan cara memperbaiki diri. InsyaAllah, nanti kalau
memang sudah saatnya kamu siap dan sudah benar-benar bisa membuka hati. Jodohmu
akan datang.” Ucap Kang Hardi.
“Sudah,
ayo makan siang dulu.” Ucap ibunya.
Mereka
semua pun makan bersama di rumah.
Zahra
merasa sangat bahagia bisa merasakan kebahagiaan yang teramat dalam keluarganya
ini. Dia sempat berpikir bagaimana jika dia tak perlu menikah dan hanya
menghabiskan waktunya untuk menjaga dan mengurus kedua orangtuanya. Karena sama
saja pada dasarnya hidup ini hanya untuk beribadah, lagipula menikah itu kan
perintahnya tidak wajib. Tetapi..
Wajah
Zahra pun akhirnya tiba-tiba pucat, dia seperti bersedih dan ingin menangis. Mengingat
kondisi ayahnya yang tak sehat. Mengingat dan terus dihantui oleh kata-kata
ayahnya yang ingin melihat Zahra untuk menikah.
Ayahnya
melihat wajah tak bahagia dari anak gadisnya itu. Sang ayah pun akhirnya
membawa diri dan kursi rodanya ke luar rumah, ia merenung sendiri melihat
pemandangan luar.
Sang
ayah pun mengodok saku celananya, dan di kantung bajunya terdapat kertas dan
juga pulpen. Sang ayah pun mulai menuliskan sesuatu di atas kertas putih itu.
“Zahra, abi sangat tahu apa yang sedang kamu
lamunkan dan kamu sedihkan saat ini. Maafkan abi jika permintaan abi membuatmu
susah. Abi hanya sangat menyayangi anak gadis abi yang satu-satunya abi miliki.
Abi bukannya iri kepada mereka yang telah menikahkan anak gadisnya, hanya saja.
Abi tak sanggup menahan rasa sedih jika kamu pun sebenarnya ingin merasakan
cinta yang ada di dunia ini walau sebenarnya masih ada yang lebih utama. Namun,
menikah tak ada salahnya. Abi sangat ingin melihat kamu memakai gaun pengantin
dan mendapatkan pasangan yang shalih, yang lebih dari abimu ini. Do’a abi
selalu mengiringi setiap langkah kakimu, nak. Berbahagialah demi Abi dan Umi.”
Lembar
kertas yang telah tertuliskan ayahnya pun sengaja di jatuhkan ke lantai. Zahra
yang melihat ayahnya sedang sendirian di luar. Akhirnya Zahra pun menyusul
ayahnya keluar. Dan..
Zahra
melihat ada gulungan kertas yang terlihat begitu rapih, Zahra pun mengambilnya
dan bermaksud untuk membuang kertas itu ke tempat sampah. Tetapi, setelah
semenit dari itu. Ayahnya pun menarik baju Zahra dan menyuruh Zahra untuk
membuka kertas itu. Akhirnya, Zahra pun membukanya dan membaca apa yang telah
tertulis di dalamnya.
Zahra
pun menangis saat itu juga, ia menangis di pelukan ayahnya. Ia mencium tangan
ayahnya yang dibanjiri oleh air matanya yang begitu deras mengalir.
“InsyaAllah,
Zahra akan berikhtiar mencari jodoh Zahra abi. Abi sabar ya.” Ucap Zahra yang
meyakinkan ayahnya.
2 Bulan Kemudian
“Abi,
Zahra janji akan menemukannya. Abi jangan dulu pulang.” Ucap Zahra yang berada
di samping kanan ayahnya yang terbaring di atas kasur tak sadarkan diri. Ya,
ayahnya koma semenjak satu bulan yang lalu.
Tak
terpikir bagaimana caranya untuk menemukan pasangan yang kan menemani hari-hari
Zahra nantinya, yang Zahra pikirkan hanyalah kesehatan ayahnya. Batinnya begitu
sakit, dadanya begitu sesak. Dilema yang benar-benar tak berkesudahan.
“Zahra
sudahlah, ayo cepat kamu bergegas untuk mencari pasanganmu di manapun, di
pesantren atau di sekolah madrasah. Carilah yang terbaik menurut agama.” Ucap Ibunya
kepada Zahra yang sedang menangis terisak disamping ayahnya.
“Umi,
masa harus aku yang mencarinya? Aku kan wanita Umi?”
“Memangnya
mengapa dengan wanita? Bukankah Siti Khadijah pun..”
“Iya
Umi, Zahra akan mencobanya.”
2 Minggu
kemudian
“Siapapun yang menemukan ini, aku harap dia
adalah seorang ikhwan yang terbaik. Ah, tak perlu terbaik. Minimal, mempunyai
kebiasaan yang baik dan ingin melakukan kebaikan. Tak perlu tampan hanya
sebatas nyaman untuk dipandang. Aku menantimu di rumahku. Ikhwan, seorang
ikhwan yang baik. Siapapun.. cepatlah datang dan lamarlah aku.”
Zahrania
Khairunnisa
Disertakan
pula alamat rumah lengkap Zahra pada kertas itu. Zahra hanya bisa menuliskannya
di sepucuk kertas dan menyelipkannya di semak-semak, taman yang hanya
orang-orang tertentu yang mendatanginya. Biasanya sih, banyak juga anak santri
yang lewat ke situ. Entahlah, Zahra hanya bisa berikhtiar dan berdo’a agar ada
yang menemukan dan membaca surat itu.
Akhirnya,
selang beberapa jam Zahra pulang ke rumahnya. Datanglah seorang pria yang tak
lain adalah teman sekolah MTs nya dahulu. Ya, seseorang yang telah lama
memendam rasa cinta kepada Zahra. Namun, karena pria itu tak berani mengungkapkan
dan melihat Zahra yang sangat pandai juga berparas cantik bahkan shalihah, ia
tak percaya diri dengan kondisinya yang sangat jauh berbeda dengan Zahra.
Namanya, Noval.
Noval
yang menemukan dan membaca kertas itu tiba-tiba saja terkaget, karena dia tak
menyangka bahwa sampai saat ini Zahra belum juga menikah, padahal usianya sudah
menginjak 26th. Dan menurut idealnya, usia 26th memang
sudah sangat terlambat bagi wanita.
Kali
ini, Noval memantapkan dirinya untuk mempersunting gadis pilihannya sejak Mts
lalu. Dengan melibatkan Allah dalam ikhtiarnya, ia pun melaksanakan shalat
istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah.
Setelah
benar-benar mantap segalanya, Noval pun bergegas meminta izin dan meminta
bantuan dari keluarganya untuk melamar Zahra dan datang ke rumah Zahra. Mereka
pun akhirnya setuju. Dan dalam hitungan waktu 2 hari, mereka pun datang
berkunjung ke rumah Zahra.
2 Hari Kemudian
“Assalamu’alaikum..”
Terdengar suara pria dari luar rumah.
Zahra
pun membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan tamu itu masuk. Zahra tak
menyadari bahwa pria itu adalah Noval teman sekelasnya sewaktu MTs.
“Zahra,
bagaimana kabarmu?” Ucap Noval yang terlihat begitu malu-malu.
“Lho,
kok. Kamu tahu namaku?” Tanya Zahra terkaget.
“Kamu
lupa? Aku Noval. Teman sekelasmu waktu MTs, masih ingat?” Jawab Noval.
“MaasyaAllah..
Hampir saja lupa. Ya, Noval. Yang terkenal dengan sastranya. Setiap di MTs selalu
mengirimkan puisi dan menempelkannya di mading. Ya, Zahra ingat.” Ucapnya penuh
dengan senyuman.
“Kamu
dari dulu gak berubah ya,”
“Lho,
memang bagaimana?”
“Tetap
manis dan ya begitulah.”
Zahra
pun terlihat begitu malu mendengar pernyataan teman lamanya mengenai dirinya
itu.
“Ada
apa kemari Noval?”
“Lho,
bukannya kamu yang menulis surat itu di taman sana kan?”
“Hmm..”
Zahra mencoba mengingat-ingat.
“Ya
Allah, jadi kamu yang menemukan surat itu?” Jawab Zahra terkaget.
“Iya,
kenapa? Keberatan? Atau, aku kurang masuk syarat?”
“Hehe..
Nggak kok. Aku gak nyangka, yang menemukan surat itu justru kamu yang aku
kenal. Aku takutnya malah orang jahat dan orang gila yang menemukan itu, bahkan
tak ada yang menemukannya sama sekali. Tapi, memangnya kamu belum menikah?”
“Belum,
kan aku memang sedang menunggu.”
“Menunggu?”
“Iya,
menunggu gadis pilihanku sedari dulu.”
“Indahnya,
memang siapa?”
“Hadeuh,
kamu gak sadar? Aku kemari memangnya untuk apa?”
“Memangnya
untuk apa?”
“MaasyaAllah..
Sudah, dengarkan saja ayahku bicara nanti.”
“Hihi..
Iya, siap deh.”
Akhirnya,
keluarga Noval pun memberitahu maksud kedatangan mereka semua ke rumah Zahra
kepada Ibu Zahra. Karena memang pada saat itu, kondisi ayah Zahra masih dalam
keadaan koma. Ibu Zahra meminta waktu untuk menunda acara lamaran dan
pernikahan anak-anaknya itu dengan alasan ingin menunggu ayah Zahra sadar dari
komanya. Dan keluarga Noval pun menyetujuinya.
Perasaan
Zahra diliputi kebahagiaan namun kesedihan yang teramat. Bagaimana kalau
ayahnya tak kunjung sadar dan malah justru meninggal. Bagaimana juga kalau
pernikahannya tak pernah terjadi sama sekali. Bagaimana, bagaimana dan
bagaimana. Itulah yang terus mengelilingi otak Zahra. Pagi, siang bahkan malam
sekalipun. Zahra hanya bisa bersabar dan terus bertawakal. Apapun hasilnya,
Zahra harus bisa mengikhlaskan.
1 Bulan Kemudian
“Alhamdulillah..”
Ucap Ibu dan Zahra ketika melihat ayahnya tersadar dari komanya.
Kali
ini, di rumah Zahra bukan hanya Zahra dan ibunya saja. Tetapi semua kakak-kakak
Zahra beserta keluarganya berkumpul. Karena, mereka tahu bahwa Zahra akan segera
menikah. Dan bersiap siaga kalau-kalau terjadi sesuatu dengan ayahnya. Akhirnya,
setelah beberapa hari ayahnya Zahra tersadar dari komanya. Zahra pun memutuskan
untuk menikah di bulan ini dan tanggalnya pun dipercepat, agar tidak ada lagi
kendala yang lain-lain lagi. Akhirnya, setelah beberapa hari ayahnya pulih. Pernikahan
itupun dilangsungkan.
Betapa
bahagianya Zahra akan kejadian hari ini. Semua keluarganya tersenyum bahagia,
namun Zahra malah menangis bersedih karena dia pun harus meninggalkan ayah dan
ibunya untuk pergi bersama dengan Noval yang saat ini jadi suaminya.
Ketika
acara akad dan resepsi pernikahan selesai. Pada malam harinya justru kondisi
sang ayah kembali memburuk dan nafasnya pun tak lancar.
Zahra
malah kembali menangis bersedih melihat ayahnya yang kembali tak sehat.
Ayahnya
pun menangis tak tertahankan, dan beliau mengungkapkan sesuatu kepada keluarga
semuanya.
“Abi
bahagia akhirnya Zahra menikah, abi sangat bersyukur bisa melihat Zahra
menikah. Tapi, abi tahu. Abi sudah terlalu tua, permintaan abi kepada kalian
semua hanyalah jaga keimanan dan ketauhidan kalian kepada Allah. Semua akan
kembali kepada-Nya.” Air mata sang ayah tua itu terus mengucur deras membasahi
pipinya. Semua anak-anaknya pun tak sanggup membendung rasa sedih dan isak
tangis, apalagi Zahra.
Ia
mendekap erat tubuh ayahnya yang tak lama dari lima menit kemudian, ayahnya
menghembuskan nafas terakhirnya. Zahra pun mendekap erat tubuh suaminya dan ia
menangis dengan derasnya.
Ya, janur kuning itu. Dibarengi dengan
bendera kuning. Kepergianku dari sisi kedua orangtuaku, dan kepergian ayahku
dari dunia ini. Allah, entah apa yang harus aku ucapkan saat ini. Apakah aku
harus menangis bahagia karena pernikahanku, atau malah menangis karena
kepergian ayahku. Sungguh berat Allah, aku tak bisa berbahagia disaat
kepulangan ayahku kepada-Mu. Ikhlaskanlah aku.. Terangilah perjalanannya di
sana, ampunilah dosanya Allah.. Aamiin aamiin aamiin..
Dan
seluruh keluarga pun menshalati jenazah dan keesokan harinya mengubur jenazah
ayahnya.